Oleh : dr.Ahmad Adityawarman (Anggota HELP-S)
Pada 11 Januari 2016, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan diskusi awal tahun dengan topik Selamatkan Sistem Pendidikan Kedokteran di Indonesia. Pendidikan kedokteran tentu saja sangat penting dalam mencetak para dokter yang akan menangani permasalahan kesehatan di tengah masyarakat. Jika kualitas pendidikan kedokteran buruk, maka masyarakat akan mendapatkan imbasnya.
Masalah yang menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah menjamurnya fakultas kedokteran di Indonesia. Tahun 2016 lalu Kemenristekdikti memberi izin pembukaan fakultas kedokteran (FK) baru kepada delapan perguruan tinggi. Namun, lima di antaranya ditengarai tidak memenuhi syarat penilaian Tim Evaluasi Program Studi Dokter. Salah satunya bahkan tidak pernah dinilai oleh Tim Evaluasi meski Rektor perguruan tinggi tersebut mengklaim sudah mengajukan proposal pembukaan fakultas kedokteran ke Kemenristekdikti sejak 2014.
Total saat ini di Indonesia telah berdiri 83 fakultas kedokteran. Tahun 2000 lalu Indonesia sudah memiliki 35 fakultas kedokteran. Artinya dalam 16 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah FK menjadi lebih dari dua kali lipat.
Apakah jumlah dokter di Indonesia masih kurang sehingga FK masih harus terus dibuka? Rasio ideal dokter dibanding penduduk menurut WHO adalah 1:2.500, sementara jumlah dokter yang teregistrasi menurut data Konsil Kedokteran Indonesia saat ini mencapai 117.044. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yakni 257.912.349 jiwa, rasionya menjadi 1:2.203. Jadi secara kuantitas sebenarnya sudah cukup. Masalah sebenarnya adalah distribusi dokter yang sangat buruk. Sekitar 1.000 dari 9.705 puskesmas di Indonesia masih tidak memiliki dokter.
Banyak FK Bermasalah.
Sementara itu, bagaimana dengan kualitas semua FK yang ada? Dari 75 FK yang sudah terakreditasi (selain FK yang baru dibuka tahun 2016), 29 di antaranya memiliki nilai C. FK berakreditasi C itu juga mengalami berbagai masalah, terutama pada jumlah dosen yang terbatas & sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang ada.
Idealnya, rasio dosen dan mahasiswa FK adalah 1:10 dan untuk program profesi adalah 1:5. Masalahnya, selain jumlah dosen yang masih terbatas, beberapa FK membuka penerimaan mahasiswa baru dalam jumlah yang begitu banyak. Dalam satu tahun ajaran ada yang menerima 200 hingga 300 mahasiswa baru. Tentu saja kondisi ini mempengaruhi kualitas kegiatan belajar mengajar. Bayangkan saja 1 orang dosen mengajar dalam satu kelas yang dihadiri 200 – 300 mahasiswa.
Beberapa saat lalu sejumlah mahasiswa FK di Papua melakukan aksi protes karena perkuliahan tidak berjalan normal. Tenaga pengajar utama dari Jakarta di FK tersebut tidak dapat didatangkan karena masalah biaya. Mahasiswa menjalani praktikum dengan bimbingan video. Selain itu ada salah satu FK yang dosennya hanya fiktif belaka. Nama sang dosen tercantum dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, namun setelah ditelusuri oleh Tim Evaluasi Kemenristekdikti, tidak ada yang mengenal nama itu di kampus yang bersangkutan. Universitas yang tercatat meluluskan dosen tersebut juga menyatakan ia tidak pernah menjadi mahasiswa di sana.
Kualitas pendidikan kedokteran yang buruk dikhawatirkan menghasilkan lulusan dokter yang berbahaya bagi masyarakat. Upaya yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi hal ini salah satunya berupa penambahan masa pendidikan selama satu tahun, yakni program internsip, yang dijalani setelah lulus pendidikan profesi serta uji kompetensi. Semua dokter tak terkecuali lulusan FK dengan kualitas mumpuni diwajibkan menjalani program yang dimaksudkan untuk pemandirian dan pemahiran ini.
Tak cukup dengan itu, program studi Dokter Layanan Primer (DLP) diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas dokter yang berjibaku di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas. Jika program ini diterapkan, setelah menyelesaikan internsip, dokter yang ingin berpraktik di FKTP sebelumnya wajib sekolah lagi mengambil jurusan DLP selama 2-3 tahun. Program ini ditolak oleh IDI karena dianggap tidak evidence based dan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Reformasi pendidikan kedokteran Indonesia dinilai lebih relevan karena jika kurikulum yang sudah ada diterapkan secara ideal, kualitas lulusan dokter otomatis sudah berkompetensi melakukan layanan primer.
Kapitalisasi Pendidikan Kedokteran.
Pembukaan jurusan kedokteran memang seakan menjadi lahan mendulang uang bagi perguruan tinggi. Animo untuk menjadi dokter memang masih tinggi meskipun biayanya selangit. Salah satu FK yang baru dibuka tahun ajaran 2016-2017 mematok uang masuk mahasiswa sebesar Rp 225 juta dan biaya per semester Rp 10 juta. Ada juga FK swasta yang mematok uang pangkal Rp 300 juta dan biaya SPP Rp 25-35 juta.
Parahnya, minat orangtua yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya di kedokteran dimanfaatkan oleh calo. Beberapa saat lalu terungkap kasus oknum staf salah satu FK negeri menawarkan jasa untuk meluluskan calon mahasiswa kedokteran dengan bayaran sekian ratus juta. Sang calo juga mengaku bisa menyediakan kuota hingga 19 kursi di FK tersebut, meski akhirnya ia ditangkap dengan tuduhan penipuan.
Pemerintah semestinya lebih tegas dalam menjalankan moratorium pendirian FK dan berfokus membenahi sistem pendidikan kedokteran yang ada. Jangan karena ada lobi-lobi politik maka diizinkan pembukaan FK baru yang padahal tidak memenuhi syarat. Pemerintah harus membina FK yang akreditasinya masih rendah serta menindak tegas FK abal-abal yang hanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan kualitas pendidikannya.
Jangan biarkan FK menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya padahal tenaga pengajar dan fasilitasnya masih sangat terbatas. Input mahasiswa kedokteran harus benar-benar berkualitas, tidak diterima karena besarnya bayaran uang pangkal semata, tapi setelah melalui seleksi yang dapat menyaring kualitas akademik maupun mentalitas yang mumpuni. Kapitalisasi pendidikan kedokteran harus dienyahkan.
Pendidikan kedokteran juga harus dapat mencetak lulusan dengan keimanan dan ketaqwaan yang baik. Tentu saja ini juga tanggung jawab pemerintah dan menanamkannya mesti sejak pendidikan dini. Tak bisa dipungkiri, keimanan dan ketaqwaan membuat seorang dokter paham mengenai hakikat dirinya, bahwa ia selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Kuasa, bahwa ia akan mendapat ganjaran atas apa yang diperbuatnya di akhirat kelak. Dengan ini otomatis seorang dokter akan sangat bertanggungjawab dalam menangani pasien, selalu mawas diri untuk terus belajar mengikuti perkembangan sains kedokteran demi meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
Pertanyaannya, bisakah hal-hal di atas diwujudkan dalam kehidupan yang menerapkan kapitalisme dan sekularisme seperti sekarang? Kapitalisme meniscayakan orang-orang hanya mengejar keuntungan duniawi sebanyak-banyaknya, sementara sekularisme menjauhkan seseorang dari predikat iman dan taqwa karena agama dipisahkan dari kehidupan dunia.
Bagi orang tua yang ingin agar anaknya menjadi dokter, juga untuk anda yang masih bercita-cita menjadi dokter, selayaknya memahami bahwa jalan yang ditempuh untuk itu saat ini tidaklah mudah. Apabila yang diharapkan adalah keuntungan materi belaka, ingin menjadi kaya raya, lebih baik menjadi pengusaha saja. Jangan sampai memaksakan kemampuan dan kemauan, bahkan rela menggelontorkan milyaran rupiah sampai menempuh ‘jalur belakang’. Pahamilah bahwa sikap seperti ini turut berkontribusi dalam buruknya pelayanan kesehatan terhadap rakyat di kemudian hari.
Referensi Tulisan:
1. https://m.tempo.co/read/news/2016/12/20/079829055/investigasi-5-fakultas-kedokteran-baru-jadi-sorotan
2. www.kopertis12.or.id/2016/05/09/fakultas-kedokteran-diumbar-45-persen-berakreditasi-c.html
3. Kendalikan Jumlah Fakultas Kedokteran. Artikel di Harian Kompas edisi 28 April 2016 halaman 14.
4. www.kki.go.id
5. https://m.tempo.co/read/news/2016/12/21/079829382/investigasi-ada-dosen-fiktif-di-fakultas-kedokteran
6. www.radarsorong.com/read/2016/12/06/48151/102-Dokter-Bisa-Hilang
7. Presentasi Abdul Razak Thaha (Ketua Dewan Pakar PB IDI) dengan judul Program Studi DLP Kebijakan Tidak Berbasis Bukti.