Oleh: Prof. DR. Ing. Fahmi Amhar
Di dalam dunia kesehatan sering terjadi perdebatan, lebih penting mana aspek kuratif dengan aspek preventif? Bagi para ahli kesehatan masyarakat aspek preventif dianggap lebih penting, sesuai slogan ‘lebih baik mencegah daripada mengobati’, maka pengembangan di bidang ini harus lebih diutamakan. Sebaliknya para dokter yang kebanyakan berdiri di aspek kuratif, menganggap tetap saja secara riil di lapangan, yang paling dibutuhkan tetap aspek kuratifnya. Angka kesakitan terus saja meningkat, berbagai penyakit baru terus saja bermunculan. Dan aspek kuratif tetap saja harus menjadi yang utama.
Kita tidak sedang akan berdiri di salah satu kutub. Namun mari kita melihat bagaimana posisi keduanya dalam sejarah peradaban Islam.
Bila kita menilik sejarah peradaban Islam yang panjang. Kita akan melihat, ternyata baik kegiatan preventif maupun kuratif sama-sama mendapat perhatian yang proporsional.
Rasulullah banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menekankan kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Namun Rasulullah juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik penyerbukan di dunia pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah latar belakang sehingga dalam beberapa abad kaum muslim benar-benar memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara preventif maupun kuratif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al Hayan atau Geber (721-815 M). Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad. Banu Musa (800-873 M) menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki. Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.
Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim al-Zahrawi menemukan plaster adhesive untuk mengobati luka dengan cepat. Penemuan ini sangat membantu pasukan Islam di medan jihad. Al-Zahrawi juga mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janin dalam kandungannya mati.
Pada 1037 Ibnu Sina menemukan thermometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian. Ibnu Sina juga sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.
Semua penemuan teknologi ini tentunya sia-sia bila tidak diaplikasikan. Aplikasi ini hanya akan berhasil bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Adalah menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah. Bahkan, pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.
Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.
Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan. Namun urusan sehat juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengkonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran, jauh di atas bekam, madu atau habatus saudah (yang di abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun Nabawi).