Oleh: Ust. Shiddiq Al Jawi
Pembuahan (fertilisasi) dengan sperma suami yang diawetkan setelah suami meninggal, hukumnya haram menurut syara’. Sebab setelah suami meninggal, maka secara syar’i telah terjadi perceraian antara suami itu dengan isterinya. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. al-Baqarah [2]: 234).
Ayat ini menjelaskan bahwa para isteri yang suaminya meninggal, sedang para isteri tidak dalam keadaan hamil, wajib menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah masa iddah selesai maka mereka boleh menikah lagi. Artinya para isteri itu sebenarnya telah bercerai dengan suaminya yang meninggal, sejak suami meninggal, dan statusnya bukan lagi suami isteri.
Atas dasar itu, haram hukumnya terjadi pembuahan atas (bekas isteri) dari sperma suami yang diawetkan. Sebab mereka berdua bukan suami isteri lagi sejak suami meninggal.
Selain dalil di atas, terdapat dalil lain yang juga mengharamkan pembuahan seperti fakta tadi. Allah SWT berfirman:
“Isteri-isterimu (seperti) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (Qs. al-Baqarah [2]: 223).
Ayat itu secara umum menunjukkan bolehnya mendatangi tanah tempat bercocok tanam (vagina isteri) dengan cara (kaifiyah) bagaimana saja sesuai kehendak suami. Termasuk dalam keumuman ayat ini adalah pembuahan (fertilisasi) dengan berbagai macam tekniknya. Misalnya melalui teknik inseminasi buatan (artificial insemination), yaitu pembuahan dengan cara mengambil sperma suami, lalu disuntikkan ke dalam rahim isteri. Dapat pula digunakan teknik bayi tabung (Fertilization in Vitro), yaitu pembuahan dengan cara mengambil sperma suami dan sel telur isteri, lalu keduanya diletakkan dalam cawan sehingga terjadi pembuahan. Setelah sel telur yang dibuahi menjadi zigot dan mengalami pembelahan sel menjadi embrio (calon janin), maka embrio ini —yang biasanya terdiri atas empat sel— ditransfer ke dalam rahim isteri (Syeichul Hadipermono, Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika, Surabaya: Wali Demak Press, 1995, hal. 10).
Jadi, secara umum, ayat di atas menurut pengertian manthuq-nya, yaitu pengertian sebagaimana yang terucap, menunjukkan bolehnya melakukan pembuahan dengan cara bagaimana saja. Tetapi, itu hanya boleh dilakukan oleh suami kepada para isteri-isterinya, sesuai bunyai manthuq ayat “nisâ’ukum hartsun lakum” (isteri-isteri kamu [bagaikan] tanah tempat bercocok tanam kamu). Mafhum mukhalafah (pengertian yang berkebalikan dengan manthuq) dari ayat itu, bahwa perempuan yang bukan isteri-isteri kamu, bukanlah tanah tempat bercocok tanam milik kamu (ghairu nisâ’ikum laysa hartsan lakum). Mafhum mukhalafah ini sejalan dengan hadits Nabi Saw:
“Lâ yahillu li’mri’in yu’minu billahi wal yaumil akhiri an yasqiya mâ’ahu zar’a ghairihi.” (Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya [spermanya] pada tanaman orang lain). [HR Abu Dawud, dari Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari ra].
Dengan demikian, mafhum mukhalafah ayat di atas menunjukkan keharaman pembuahan sperma suami kepada perempuan yang bukan isterinya, termasuk dalam hal ini adalah pembuahan kepada bekas isteri yang telah dicerai mati sebagaimana dalam kasus di atas.
Kesimpulannya, haram hukumnya menurut syariah Islam dilakukan pembuahan terhadap isteri dengan sperma suami yang diawetkan setelah suami itu meninggal dunia, sebab setelah suami meninggal sebenarnya sudah tak ada lagi ikatan suami isteri di antara mereka berdua. Wallahu a’lam