Oleh: dr. Fauzan Muttaqien (Sekjend HELP-S)
Pendahuluan
Menyimak apa yang terjadi di dunia kesehatan saat ini, mestinya kita banyak mengelus dada prihatin. Intelektual muslim yang jeli akan melihat bahwa di ranah ini terjadi setumpuk masalah. Sayangnya, perhatian para pemikir muslim masih terkesan sebelah mata hingga terkesan mengeliminir masalah kesehatan dari panggung problematika dunia Islam. Mereka berjibaku di masalah ekonomi umat yang termiskinkan, pendidikan umat yang terbodohkan, aqidah yang tercerabut, akhlak yang terdegradasi, politik yang terjajah. Tapi tahukah mereka, masalah kesehatan juga siap menjadi bom waktu masalah, meski mungkin tidak sedahsyat masalah-masalah inti umat yang lain.
Permasalahannya memang rumit. Bila merujuk ke perkembangan kesehatan secara global, kita akan memandang bahwa dunia kesehatan telah masuk ke era kejumawaannya. Teknologi kesehatan menjadi primadona, anak emas yang dibanggakan Barat sebagai hasil peradabannya. Bila dahulu para tabib meracik obat dari tumbuhan-tumbuhan yang dipercayai berdasarkan pengalaman mampu menyembuhkan, kini industri obat dibuat telah berdasarkan teknologi digital, dianalisa dengan komputer canggih. Bila dahulu kita cukup bangga dengan temuan adanya satuan-satuan kecil penyusun tubuh manusia setingkat sel, kini era modern telah memperbincangkan jauh hingga tingkat molekuler dan kode-kode genetika. Belum lagi bila kita menelisik kecanggihan alat-alat kesehatan mulai dari perangkat diagnostik, laboratorium super canggih, hingga perangkat operasi yang bahkan memungkinkan seseorang yang berada di Jepang dapat melakukan pembedahan secara langsung pasien yang ada rumah sakit di Eropa.
Pertanyaannya adalah, dimana letak umat Islam di situ? Sayangnya di tengah kemajuan tersebut, posisi kaum muslim hanyalah sebagai konsumen atau pengamat yang kagum, seperti seorang dusun yang berdecak melihat keindahan bangunan menara Eiffel. Kalaupun ada satu dua muslim yang terlibat dalam kemajuan tersebut, mereka tak lebih hanya sebagai ‘alat dan buruh’, bukan sebagai sang pemilik kemajuan.
Lebih parah lagi, di hingar bingar kemajuan yang jumawa itu, tersebutlah sekelompok kaum muslim yang berbekal penafsiran beberapa dalil, melakukan penolakan sedemikian rupa terhadap kemajuan yang ada. Mereka kemudian mengusung perang terhadap vaksinasi, perang terhadap antibiotik, hingga menggeneralisir menjadi perang terhadap kedokteran Barat. Seraya mereka membawa konsep yang salah kaprah tentang thibbun nabawi, mengajarkan kepada umat bahwa ruqyah, bekam, madu, habbatussaudah adalah segala-galanya. Walhasil, umat terbingungkan dengan dikotomi tersebut.
Efek domino selanjutnya adalah akibat dari serangan-serangan itu, para tenaga medis muslim yang berkiprah di kedokteran ala Barat pun merasa terpojokkan. Seakan ilmu yang mereka reguk selama ini tak ada faedahnya. Ya sudahlah, pikir mereka. Sembari pada akhirnya ikut membuat garis. Garis yang entah siapa yang terlebih dahulu melukiskannya. Membuat ilmu kedokteran latah mengikuti ilmu yang lain, mencoba mensterilkan diri dari agama. Baiklah, bila memang agama tidak memberi ruang kepada kami, talak satu kedokteran modern dengan agama…! Akibatnya, terjadilah sekularisasi di bidang kesehatan
Maka singkat cerita, ‘cerailah’ kesehatan modern dengan Islam. Dia ‘berselingkuh’ dengan sistem kapitalisme yang akhirnya menghasilkan anak haram bernama ‘kapitalisasi kesehatan’. Hingga kesehatan pada akhirnya tak lebih menjadi komoditas produksi, jualan mahal yang hanya bisa dibeli oleh kalangan berdompet tebal. Ramailah kemudian slogan orang miskin dilarang sakit, karena harga berobat mengangkasa tinggi. Lalu bersandinglah di pelaminan tiga serangkai: kebodohan-kemiskinan-penyakitan. Dan siapakah yang banyak berada di panggung pelaminan itu?
Kali ini kita patut menangis pilu, mereka mayoritas orang Islam.
Menilik Era Gemilang Kesehatan Islam Tempo Dulu
Bila kita menilik periode beberapa ratus tahun yang lalu, maka kita bisa menyaksikan bahwa umat Islam pernah menjadi mercusuar peradaban termasuk di ranah kesehatan. Di zaman keemasannya, para dokter Muslim sangat bersemangat mengembangkan sains dan teknologi baru di dunia kesehatan. Jabir al Hayan (721-815 M) misalnya menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia di Baghdad. Lalu ada Banu Musa (800-873 M) yang menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri. Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) yang menemukan kemoterapi. Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.
Pada abad-9, Al-Kindi menunjukkan aplikasi matematika untuk kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengukur derajat penyakit (sejenis termometer), mengukur kekuatan obat hingga dapat menaksir saat kritis pasien.
Dunia juga mengenal Ammar ibn Ali al-Mawsili yang menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Juga ada Abu al-Qasim al-Zahrawi yang dianggap bapak ilmu bedah modern. Beliau saat itu sudah menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bedah, termasuk plester adhesive untuk mengobati luka dengan cepat dan 200 alat bedah, sampai saat ini alat-alat tersebut masih digunakan dalam tindakan bedah misalnya untuk kuretase pada bedah kebidanan. Beberapa zat bius seperti campuran opium juga sudah digunakan dengan tepat oleh beliau.
Ibnu an-Nafis adalah Bapak fisiologi peredaran darah yang merupakan perintis bedah manusia. Pada tahun 1242 ia sudah dapat menerangkan secara benar sirkulasi peredaran darah jantung-paru-paru.[1] Pada abad 15, kitab Tashrih al-Badan karya Mansur bin Ilyas menggambarkan secara lengkap struktur tubuh manusia, termasuk sistem syaraf.
Dan tentunya dunia sangat mengenal Ibnu Sina, Bapak kedokteran modern yang sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Selama abad 15 dan 16 saja, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 35 kali. Beliau jugalah yang menemukan termometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian.
Tradisi riset di bidang kedokteran sangat dihargai di dunia kesehatan Islam. Ini jauh sangat maju dibandingkan apa yang didapati di kedokteran Eropa di masa itu yang masih diliputi dengan aroma sihir dan mistis. Ar-Razi pada abad-10 sudah memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari eksperimen ilmiah. Ibnu Sina juga dikenal dengan tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat yang dikembangkannya.
Kompetensi tenaga medis juga sangat diperhatikan saat itu. Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan test-test kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.
Para dokter muslim juga telah mengembangkan kode etik kedokteran. Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab al-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.
Umat Islam juga saat itu dikenal sebagai pioner dalam pembangunan rumah sakit modern. Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Semua rumah sakit di dunia Islam telah dilengkapi dengan tes-tes kompetensi, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.
Tentang kenyamanan dan modernnya rumah sakit Islam ini dapat digambarkan dari sebuah manuskrip sejarah, sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam.
“Ayahku! Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas, sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang, jika kau masih ingin menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan bangsal operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu dirawat-inap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di apotek rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar menemui dokter kepala rumah sakit. Seorang perawat memapahku masuk ke bangsal pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah kiri kau dapat melihat perpustakaan, dan ruang kuliah besar berada di belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa. Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat membaca buku-buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi, ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku, bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan yang sebenarnya belum aku inginkan. Rasanya aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Di sini semuanya begitu bersih dan terang. Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan masakan daging unggas atau domba panggang, yang sangat cocok bagi kondisi perut para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap hidangan roti keju dan ayam panggang. Nah, ayah, datanglah, sebelum daging ayam terakhir untukku dipanggang!”[2]
Polemik Thibbun Nubuwwah versus Kedokteran Barat
Sayangnya, kondisi saat ini justru berbalik. Bila dulu dunia kesehatan Barat berselubung mistik dan hal-hal yang tidak logis ketika dunia kesehatan Islam sedang digdaya. Sekarang ketika Barat unggul dengan kemajuan teknologi kesehatannya, entah kenapa sebagian kaum muslim justru mengumandangkan keantiannya terhadap produk teknologi kesehatan Barat. Mereka kemudian dengan bangga mengusung madu, jintan hitam, bekam dan ruqyah sebagai obat segala penyakit. Kemudian tanpa dasar ilmu yang mendalam menolak pengobatan-pengobatan berbau Barat seperti obat-obatan kimia, antibiotik, kemoterapi, atau vaksinasi dengan alasan berbau kimia dan ‘bukan cara nabi’. Akibatnya umat Islam seperti membentengi diri dari kemajuan teknologi kesehatan. Padahal, para pendahulu kita seperti Ibnu Sina dan kawan-kawan telah mendobrak itu dengan membangun pondasi sains teknologi kesehatan yang berkembang saat ini. Mereka telah jauh berangkat dari sekedar teknologi madu dan bekam. Berdiri di atas pondasi yang mereka buat kini bangunan mewah menjulang tinggi. Namun sayangnya, kita cucu-cucunya malah memilih menjauh tinggal di gubuk sederhana atau gua-gua gelap berlabelkan kesehatan ala tradisional.
Abu Umar Basyier dalam bukunya berjudul Kedokteran Nabi, antara Realitas dan Kebohongan mengungkapkan ada kesalahan sebagian besar masyarakat Islam dalam memaknai thibbun nabawi. Pengobatan nabi jelas bukanlah madu dan jintan hitam atau bekam dan ruqyah. Kesemuanya hanyalah komoditas yang dipuji nabi sebagai obat berbagai jenis penyakit saat itu. Bukan berarti nabi kemudian menafikan jenis-jenis pengobatan yang lain. Pengobatan nabi sebenarnya adalah metodologi pengobatan, bukan sekedar kumpulan dari jenis-jenis produk yang saat ini diklaim sebagai simbol pengobatan nabi. Pengobatan nabi meliputi metodologi yang bermakna kompleks, upaya terapi, kaidah-kaidah dan formula medis yang dapat dikembangkan secara luas dari masa ke masa disertai adab dan etika dalam pengobatan.
Kedokteran nabi juga tidak anti terhadap terapi dan obat-obatan modern. Nabi sendiri pernah menerima kehadiran ahli medis dari Persia yang sengaja melakukan praktik pengobatan di antara para sahabat. Itu artinya beliau tidak antipati terhadap kedokteran Persia yang kala itu tergolong mutakhir dan termodern.
Lalu sebagian kalangan muslim kemudian berhujjah: apakah thibbun nabawi yang berdasarkan hadits yang kalian pilih atau kedokteran dari Barat yang jelas-jelas dari orang kafir?
Menghadapi polemik ini semestinya kita memberi batas yang tegas. Taqiyuddin anNabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam menegaskan penting bagi kita untuk membedakan yang mana yang termasuk hadharah atau bentuk peradaban yang tidak boleh diambil kecuali dari Islam dan yang mana termasuk madaniyyah atau bentuk fisik yang boleh diambil dari manapun selama tidak khas berhubungan dengan hadharah tertentu. [3]
Allah telah mengharamkan umat Islam mengambil sistem atau aturan manapun selain Islam dalam rangka memecahkan setiap problematika hidup mereka. Allah juga telah mengharamkan umat Islam untuk berhukum kepada selain hukum Islam. Firman Allah SWT:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara-perkara yang mereka perselisihkan” (TQS. an-Nisa 65)
Sabda Rasul saw :
“Setiap perkara yang tidak berasal dari perintah kami maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, kita tidak boleh mengambil sedikitpun, segala sesuatu yang berasal dari peradaban Barat.
Akan tetapi bila kita berbicara sains dan teknologi maka hal ini bersifat universal. Dengan demikian apapun yang lahir dari sains, baik berupa penemuan-penemuan baru, industri, dan segala bentuk materi/ fisik, hal itu tidak lahir dari sebuah sudut pandang tertentu kehidupan. Ia lahir dari kecerdasan akal, melalui suatu proses eksperimen, pengamatan, dan penarikan kesimpulan. Oleh karena itu, Islam telah membolehkan umatnya untuk mengambil sains dari manapun sumbernya, apakah dari Barat ataupun Timur. Sebab, hal itu termasuk apa-apa yang telah ditundukkan Allah untuk manusia. Firman Allah SWT : “Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya” (TQS. al-Jatsiyah 13)
Rasulullah juga bersabda “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Dengan demikian, kita boleh saja mengambil ilmu dari Barat seperti matematika, atom, industri, termasuk dalam bidang kesehatan.
Polemik kapitalisasi kesehatan
Justru yang sering luput dari pembahasan para praktisi thibbun nabawi adalah fakta kapitalisasi kesehatan. Bukan produk perkembangan sains teknologi kesehatan yang seharusnya mereka kritisi. Namun bagaimana produk itu dibuat, dikembangkan dan dipasarkan. Bagaimana kesehatan itu menjadi alat jualan bahkan lebih jauh jadi alat penjajahan.
Hasil dari diterapkannya sistem kapitalisme dalam seluruh bidang kehidupan menyebabkan kesehatan yang dulunya merupakan bidang kehidupan mulia memasuki kancah barunya, sebagai komoditas materialistik. Kesehatan kini jadi barang jualan. Layaknya barang-barang produksi yang lain, ada uang ada barang, maka kesehatan juga berprinsip sama, ada uang ada sehat.
Meski untuk mensiasatinya, pemerintah dan pihak swasta kemudian meluncurkan berbagai program asuransi, tetap saja ujung-ujungnya sejatinya adalah komersialisasi. Industri kesehatan merupakan bisnis yang terlampau menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja. Pada akhirnya, hanya kalangan elite yang dapat menikmati fasilitas kesehatan yang memadai. Memang, masih ada layanan untuk rakyat miskin. Namun mereka harus rela berada bertumpuk di bangsal yang panas seadanya. Dengan obat yang murah sekedarnya dan pelayanan yang serba minimal.
Pemerintah dan para pelaku di industri kesehatan akan berkilah bahwa kesehatan adalah barang mahal. Biaya untuk mendidik tenaga-tenaga medis dan paramedis berkualitas dibutuhkan gelontor dana yang sangat tinggi. Obat-obatan yang berkualitas dan tepat sasaran harganya tidak murah. Tidak semua obat telah tersedia generiknya. Dan beberapa obat harus dikonsumsi dalam waktu yang relatif lama. Belum lagi pengadaan sarana-sarana kesehatan yang canggih yang harganya mencapai milyaran.
Ini ditambah dengan keculasan para kapitalis yang mengambil keuntungan besar dari industri kesehatan ini. Sudah menjadi rahasia umum tentang kolusi antara perusahaan obat dengan dokter. Dimana perusahaan obat menjanjikan untung berlipat dan berbagai fasilitas kepada seorang dokter yang mau meresepkan obat merek dagangnya. Biaya ‘service’ inilah salah satunya yang menjadikan harga obat semakin melambung.
Belum lagi permainan para kapitalis di tingkat riset obat yang mengedepankan profit dan monopoli atas nama hak paten.[4] Saat itu penciptaan obat tidak lagi dengan semangat mencari kesembuhan untuk pasien, tapi lebih untuk mendapatkan pundi-pundi harta berlimpah. Hasil akhir, konsumen harus merogoh uang sangat dalam untuk mendapat obat bermutu.
Pemerintah juga pada akhirnya tidak mau peduli. Karena berdasarkan prinsip kapitalisme, bahwa kesehatan seharusnya diserahkan pada mekanisme pasar. Maka dengan bahasa yang halus bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama, pemerintah berusaha sedikit demi sedikit lepas tangan dari menanggung kesehatan rakyatnya.
Menggali solusi ke akar masalah
Apa yang terjadi di dunia kesehatan pada dasarnya memiliki akar masalah yang sama, yakni sistem kapitalisme yang menggawanginya. Bila kita merunut masalah-masalah di dunia kesehatan, maka kita akan menemui beberapa sumber masalah yakni:
- Sistem pendidikan kesehatan
- Sistem produksi obat dan alat kesehatan
- Sistem distribusi obat
- Sistem penyelenggaraan kesehatan
- Kebijakan kesehatan
Sistem pendidikan kesehatan berperan besar mencetak pelaku-pelaku di bidang kesehatan. Sangat mahalnya biaya sekolah kesehatan yang mencapai ratusan juta bahkan bisa sampai milyaran jelas berkonsekuensi menghasilkan pelaku kesehatan yang berjiwa dagang. Logika mereka, kami telah banyak keluar uang untuk menjadi dokter, maka wajar bila kami mencari uang ‘balik modal’ setelah lulus nanti. Ini juga diperparah dengan rumit dan berbelit-belitnya untuk sekolah di kedokteran ditambah dengan waktunya yang relatif lebih lama dibanding dengan profesi yang lain. Hal ini menjadikan dokter lulusannya akan semakin semangat menuntut ‘balik modal’. Biaya yang tinggi ini, belum diimbangi dengan kualitas yang baik. Maka tidak heran bila kualitas tenaga medis kita masih dianggap inferior dibandingkan cetakan Barat.
Masalah selanjutnya adalah produksi obat yang menggunakan sistem paten. Penggunaan sistem paten tidak lebih dari upaya kaum kapitalis untuk memproteksi diri mereka agar jangan sampai produk Timur bisa mengungguli produk mereka[5]. Efek dari sistem paten ini juga adalah berlipat gandanya harga produksi obat. Ini semakin diperparah dengan sistem distribusi obat yang menggunakan model kerjasama farmasi dengan dokter. Biaya obat yang sudah mahal harus ditambah lagi dengan ongkos memberi komisi dokter apabila meresepkan obat tertentu, ongkos memberi berbagai fasilitas mulai dari hiburan, transport dan layanan-layanan lain kepada dokter asalkan mereka mau bekerjasama dengan peresepan obat tersebut. Dari sini kita bisa melihat tiga masalah pertama inilah yang berkontribusi besar dalam bengkaknya biaya pelayanan kesehatan.
Masalah keempat yang juga tidak kalah penting adalah model penyelenggaraan kesehatan yang masih menitikberatkan aspek kuratif (pengobatan) dibandingkan sistem preventif (pencegahan). Bagaimanapun biaya berobat jelas sangat mahal dibandingkan biaya pencegahan. Sebagai contoh, penyakit jantung koroner terapi utamanya adalah pemasangan stent[6] yang harganya mencapai puluhan juta atau operasi bedah pintas yang harganya bisa ratusan juta, ini masih harus dilanjutkan dengan konsumsi obat jangka panjang. Sebenarnya biaya yang tinggi itu bisa dihindari dengan sedini mungkin menghindari faktor resiko penyebab jantung koroner, yakni tidak merokok, mencegah hipertensi dan diabetes mellitus serta dislipidemia dengan pola makan yang sehat dan olahraga yang cukup. Sayangnya, untuk hal ini pemerintah malah cenderung meracuni rakyatnya dengan membiarkan pabrik rokok terus beroperasi dan membiasakan rakyat dengan makanan-makanan ala junk food yang berpotensi besar merusak kesehatan.
Terakhir, kebijakan kesehatan yang kapitalistik. Pemerintah berprinsip bahwa kesehatan adalah hak semua orang, tetapi mereka harus bayar mahal untuk itu. Memang ada mekanisme yang diusung berupa asuransi kesehatan. Akan tetapi tetap saja modelnya adalah model profit kapitalistik. Untuk obat-obat tertentu tidak semua level bisa menikmatinya. Anggaran kesehatan yang digelontorkan juga masih minimal. Perhatian pada tenaga-tenaga medis masih sangat kurang. Tak heran, karena itu para tenaga medis berpikir lebih serius membuka praktek swasta dibandingkan tugas di Puskesmas atau Rumah sakit pemerintah. Ini baru dari aspek pelayanan. Apalagi dalam hal aspek riset kedokteran –dimana tolak ukur kemajuan kesehatan dinilai dari sini- kita melihat dukungan pemerintah terhadap temuan-temuan baru di bidang kedokteran betul-betul seadanya.
Secercah harapan, Kejayaan itu akan kembali
Kita sampai pada pertanyaan akhir, yakni mungkinkah umat Islam meraih kejayaan kembali di bidang kesehatan?
Kalau kita mau jujur. Sesungguhnya era kejayaan Islam di bidang kesehatan – termasuk di bidang lainnya – terjadi pada saat syariah Islam diterapkan dalam bingkai institusi khilafah Islam. Bila kita melihat permasalahan yang ada tadi, sesungguhnya jawaban terhadap masalah yang sangat kompleks itu hanya akan sanggup dijawab oleh sebuah institusi negara yang kuat yang pro terhadap kepentingan umat, bukan kepentingan pemodal. Kesehatan adalah bagian terintegrasi dengan masalah-masalah umat yang lain. Artinya ketika kita menjawab masalah kesehatan dengan Islam, kita juga menjawab masalah ekonomi dengan Islam, menjawab masalah politik dan lainnya dengan Islam. Kemampuan syariat Islam dalam menangani seluruh masalah kehidupan tidak diragukan lagi.
Islam memiliki model pendidikan yang terbukti berhasil mencetak produk seperti Ibnu Sina dan AlZahrawi, yang bukan hanya ahli di profesinya tapi shaleh dan faqih fiddiin. Maka prototype pendidikan Islam harus diwujudkan. Model pendidikan kesehatan harus betul-betul dibenahi dengan menjauhkannya dari sekularisme dan kapitalisme. Pendidikan kesehatan harus digratiskan namun dengan mutu yang tinggi. Sehingga output tenaga kesehatan yang dihasilkan adalah dokter dan perawat yang berkualitas, tidak dibayangi profit oriented, sholeh dan betul-betul bekerja mengobati dengan ikhlas pengabdian kepada Allah.
Selanjutnya, industri farmasi harus menghapuskan sistem paten. Khilafah harus melawan para raksasa industri farmasi yang menggurita dengan membangun tandingannya. Pola distribusi obat dengan kerjasama komisi farmasi-dokter juga harus dihapuskan sehingga biaya obat tidak melambung tinggi. Model penyelenggaraan kesehatan juga harus mengedepankan aspek preventif dengan memperbaiki sanitasi lingkungan, pembiasaan olahraga dengan pengadaan fasilitasnya, pengadaan sarana dan pembiasaan pola hidup bersih, menghapuskan sumber-sumber penyakit seperti pabrik-pabrik rokok, industri minuman keras, narkoba, dan tempat-tempat pelacuran. Selain itu yang tak kalah penting adalah pengadaan pangan yang bergizi dan bermutu tinggi seraya menghapus sarana dan kebiasaan makan yang jelek dari masyarakat.
Kebijakan ini tidak dapat diambil kecuali dengan mensinergikan dengan bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tak dipungkiri, untuk kesehatan yang bermutu tinggi harus ditopang dengan kekuatan ekonomi yang tinggi pula. Kebijakan untuk menggratiskan pendidikan kesehatan dan biaya pelayanan kesehatan yang gratis dapat ditempuh asalkan negara memiliki kekayaan yang cukup. Perlawanan terhadap kedigdayaan industri kapitalis Barat mesti didukung dengan politik yang kuat. Riset-riset yang hebat, pembangunan rumah sakit dan sarana-sarana kesehatan yang berkualitas harus didukung dengan kebijakan ekonomi dan politik yang hebat. Bentuk penyadaran pola hidup sehat harus dibenahi sesuai pola hidup Islami yang memang menghendaki dan menuntun umatnya agar terbiasa menjaga kesehatan.
Sehingga kuncinya saat ini apabila kita menghendaki kejayaan kesehatan Islam kembali, maka syariah Islam mesti kembali diterapkan dalam segala aspeknya secara totalitas. Bersamaan dengan itu, bukan hanya kesehatan yang kembali berjaya, namun pendidikan akan berjaya, ekonomi berjaya, politik berjaya, sosial budaya keamanan berjaya. Dan terlebih dari itu barakah dan rahmat Allah akan turun membanjiri semesta.
Wallahu’alam.
Referensi
AlGhazal, Sharif kaf. The influence of islamic philosophy and ethics on the development of medicine during the islamic reneissance. JISHIM. 2004. Vol 3 no. 6. Hal 3-9
Amhar, Fahmi. Ketika dunia belajar pengobatan. http://www.fahmiamhar.com/2011/07/ketika-dunia-belajar-pengobatan.html. diakses tanggal 28 Juni 2014.
Amhar, Fahmi. Ketika sehat bukan misteri. http://www.fahmiamhar.com/2009/12/ketika-sehat-bukan-misteri.html diakses tanggal 28 Juni 2014.
Amhar, Fahmi. Pencegahan penyakit di masa khilafah. http://www.fahmiamhar.com/2011/10/pencegahan-penyakit-di-masa-khilafah.html. diakses tanggal 28 Juni 2014.
Amhar, Fahmi. Kedokteran islam pakai uji klinis. http://www.fahmiamhar.com/2008/12/kedokteran-islam-pakai-uji-klinis.html. diakses tanggal 28 Juni 2014.
Annabhani, Taqiyuddin. Peraturan hidup dalam islam. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor: 2003
Arrumaikhon, Ali Sulaiman. Fiqih pengobatan islami. AlQowam publishing. Solo: 2008.
Basyier, Abu Umar. Kedokteran nabi, antara realitas dan kebohongan. Shafa Publika. Surabaya: 2011
Mushaf AlKamil, AlQuran dan terjemahannya.Penerbit Darussunnah. Jakarta: 2013.
[1] Dunia Barat mengklaim bahwa penemu sirkulasi darah pertama adalah William Harvey. Padahal William Harvey baru menemukan hal yang sama pada tahun 1628 .
[2] Fahmi Amhar. Ketika dunia belajar pengobatan. http://www.fahmiamhar.com/2011/07/ketika-dunia-belajar-pengobatan.html
[3] Hadlarah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadlarah bersifat khas, sesuai dengan pandangan hidup. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadlarah, seperti patung, termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan oleh kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini tidak dimiliki secara khusus oleh suatu umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains dan teknologi/industri.
[4] Obat Paten adalah obat yang masih dilindungi oleh paten. Setiap obat umumnya ditemukan sebagai hasil penelitian yang mendalam dan tentu saja dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan penggantian biaya penelitian yang telah dikeluarkan tersebut, maka obat yang baru ditemukan umumnya dilindungi oleh hak paten. Hak paten biasanya berumur 20 tahun. Setelah 20 tahun, tidak ada lagi yang memiliki hak paten atas obat tersebut
[5] Inilah alasannya kenapa banyak produk herbal kita yang tidak bisa diakui sebagai obat medis. Karena harus melalui mekanisme yang sangat ketat dan perlu sokongan dana yang sangat besar untuk bisa diakui sebagai obat. Di samping itu, dunia farmasi saat ini dikuasai oleh para kapitalis-kapitalis raksasa yang ‘menjajah’ dunia pengobatan lokal kita.
[6] Pemasangan Stent merupakan metode pengobatan jantung koroner dimana arteri koroner yang menyempit diperlebar dengan menggunakan sejenis cincin yang dimasukkan ke dalam pembuluh koroner melalui kateterisasi pembuluh darah