In Memoriam dr. Hj. Herlina Latifah Rahma : Dengan Ridhomu Aku Melangkah

0
1467

Ditulis oleh : Ustadzah Herlina Latifah Rahma (Ummu Naqiyah)

“Bapak kritis. Nafasnya tersengal-sengal.” Sebuah pesan singkat masuk di chat WA ku tanggal 13 Oktober 2015 jam 08.44 WIB. Dari adik laki-lakiku di Surabaya. Deg! Hatiku tersentak. Kugenggam gawaiku dengan erat sambal menatapnya tak berkedip. Tak henti-hentinya kupanjatkan doa-doa dalam hati. Sepuluh menit kemudian adikku menelepon dan mengabarkan bahwa bapak kami sudah dipanggil menghadapNya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un….” Kuucapkan kalimat tersebut berkali-kali untuk menenangkan gemuruh yang melanda dadaku. Aku berhasil menahan air mataku agar tak tumpah. Segera kuteruskan kabar itu pada suamiku dan dia pun bergegas pulang dari tempat kerjanya. Aku segera menghubungi seorang teman untuk memesan tiket pesawat saat itu juga. Aku berharap bisa melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya sebelum beliau dimakamkan. Pekanbaru – Surabaya bukanlah jarak yang pendek, “Ah.. semoga Allah masih memberiku kesempatan,” ujarku dalam hati.

Tak perlu waktu lama untuk berkemas, kami pun melaju menuju bandara. Syukurlah aku masih bisa mendapatkan penerbangan langsung Pekanbaru – Surabaya tanpa transit. Aku pun mengirim kabar pada adikku agar menunggu kedatanganku dan menunda sejenak prosesi pemakaman bapak kami. Tak kusangka, kunjunganku ke Surabaya di bulan Juli 2015 adalah saat terakhir aku melihatnya. Masih tergambar jelas di ingatanku, bapak melepas kepulangan kami dengan iringan air mata, sesuatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Seolah menjadi isyarat perpisahan kami untuk selamanya. Mata beliau tak lepas memandang kami dengan linangan air mata, ketika kami melambaikan tangan dan mobil yang membawa kami pun berlalu.

Perjalanan kali ini kurasakan sangat berbeda. Satu-persatu peristiwa dan kenanganku bersama bapak bermunculan di memoriku. Ingatan masa kecilku hingga dewasa memang didominasi oleh sosoknya. Sejak kecil aku memang lebih dekat dengan bapak dibanding ibu. Banyak orang bilang bahwa anak perempuan sulung itu memiliki posisi istimewa di hati ayahnya, itulah yang kurasakan. Bapak adalah pahlawanku dan pelindungku, posisinya di hatiku tak akan tergantikan oleh siapapun, termasuk suamiku saat ini. Pikiranku melayang ke masa lalu, mengenang saat-saat istimewa dalam hidupku, dan bapak selalu hadir di setiap momen istimewa itu.

Tahun 1997

Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin. Nampak sosok yang asing di mataku. Seorang gadis tinggi semampai yang dibalut seragam putih abu-abu panjang, lengkap dengan kerudung putihnya. Ini adalah hari pertamaku pergi ke sekolah dengan menutup aurat lengkap. Enam belas tahun usiaku hidup di dunia, tanpa pernah tahu bahwa menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah dewasa. Barulah saat SMA aku mengetahui kewajiban tersebut ketika aku mengikuti kegiatan rohis di sekolah.

Empat bulan lamanya aku berada dalam kegalauan, antara memenuhi perintah Allah atau mentaati perkataan orang tua. Tak disangka ketika aku menyampaikan keinginanku untuk berhijab, bapak ibuku ternyata tak setuju. Mereka bahkan mengeluarkan kata-kata ancaman jika aku nekat melaksanakan keinginanku. Awalnya aku tak berani menentang perkataan orang tuaku, langkahku pun menjadi surut. Namun perasaan berdosa yang makin lama makin membesar telah melahirkan dorongan yang sangat kuat untuk segera merealisasikan kewajiban ini. Maka aku pun mempersiapkan segala sesuatunya dengan diam-diam, dan sekaranglah saatnya untuk beraksi.

Dengan degup jantung yang makin kencang, aku memberanikan diri untuk keluar dari kamarku, tentunya dengan penampilan baruku. Doa-doa kupanjatkan dengan cepat untuk menetralisir degupan jantungku. Degg! Tatapanku terpaku pada sosok yang berdiri di depanku dengan wajah terkejut dan memerah, ibuku! Ibu menatapku dari atas sampai bawah, kemudian berkata dengan menahan marah, “Kalau kamu tidak lagi menurut pada orang tua, pergi saja kamu dari rumah ini!”

Ibu tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan, beliau segera masuk ke dalam kamarnya sambil menutup pintu dengan keras. Air mataku mulai bercucuran dan segera ku bergegas keluar rumah, Bapak sudah menunggu di luar. Beliau juga terkejut melihat penampilanku, tapi tak mengatakan apapun. Beliau hanya mengelus pundakku dan kemudian mengantarku ke sekolah dalam diam. Sikap bapak itu menjadikanku tenang kembali. Seperti biasanya, beliau menunjukkan kebijaksanaan sikapnya walaupun aku tahu beliau juga sama keberatannya seperti ibu. Tapi beliau memilih untuk memberiku kesempatan merasakan dunia baru. Disitulah aku merasakan kehadiran bapak sebagai pelindung dan penguat hijrahku.

Hijrahku saat itu tak semata menggunakan hijab saja. Aku mulai mengkaji Islam dengan intensif, dari sinilah aku mengetahui kesempurnaan Islam sebagai sebuah ideologi. Aku merasa seperti baru dilahirkan sebagai seorang muslim. Ternyata pemahamanku selama ini tentang Islam terlalu sempit, hanya mencukupkan pada rukun iman dan rukun islam saja. Padahal aturan Islam itu sedemikian sempurnanya, mulai urusan individu sampai urusan negara semuanya diatur oleh Islam. Di bangku SMA inilah aku membina diriku untuk menjadi seorang muslim kaffah yang berusaha untuk terikat dengan hukum syariat dan mendakwahkannya hingga terwujud penerapan syariat secara kaffah.

Tahun 2004

Aku memasuki tahun pertama ko ass (istilah untuk mahasiswa kedokteran yang sedang belajar untuk mengambil profesi dokter). Selama empat tahun studiku berjalan dengan lancar dan selalu meraih nilai diatas rata-rata. Lazimnya mahasiswa yang lain, aku juga ingin menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan nilai memuaskan. Tak disangka di penghujung tahun 2004 aku mendapatkan permintaan untuk bergabung dalam tim relawan kemanusiaan yang akan diterjunkan untuk membantu korban gempa dan tsunami Aceh, padahal saat itu aku belum menyandang gelar dokter.

Kusampaikan permintaan tersebut pada orang tuaku dan terjadilah diskusi panjang. Ibuku tentu saja keberatan jika aku memenuhi tawaran tadi, dengan alasan akan mengganggu studiku. Apalagi di tahun yang sama aku juga akan mengajukan cuti belajar untuk menunaikan ibadah haji bersama orang tuaku. Aku memilih untuk berbicara dengan Bapak dari hati ke hati, toh aku tahu izin bagi anak terletak di tangan ayahnya. Setelah pemaparan panjang kali lebar, akhirnya Bapak pun mengizinkan aku untuk menunaikan amanah tersebut. “Nanti Bapak yang akan bicara dengan ibumu,” ucapan beliau menutup diskusi kami.

Begitulah bapak, selalu membuka ruang bagi anak-anaknya untuk mengemukakan pendapat dan keinginannya. Selagi itu positif dimata beliau, beliau akan mendukungnya dan memberi kemudahan. Jika anak-anaknya melakukan kesalahan, beliau akan menasehati dengan lembut. Aku tak bisa menemukan dalam ingatanku kapan bapak memarahiku. Tak pernah sekalipun beliau marah padaku atas kesalahan yang kulakukan. Bapak sungguh seorang ayah yang penyayang.

Tahun 2006

Menjelang kelulusanku sebagai dokter, aku kembali menerima amanah dakwah. Amanah yang kurasakan sungguh berat, karena mengharuskan diriku untuk berpisah dengan orang tua dalam waktu yang tidak singkat. Dalam hal ini aku pun memerlukan izin dari orang tuaku. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan studi dengan baik dan berhasil meraih gelar dokter. Rasanya hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas jasa-jasa dan pengorbanan bapak ibuku selama ini. Aku tahu mereka pasti punya harapan dan keinginan terhadapku. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada dakwah ini, sehingga aku memilih untuk menjadikan dakwah sebagai poros aktivitasku.

Berhari-hari aku memikirkan cara untuk menyampaikan keinginanku. Aku tak kuasa untuk berbicara langsung pada orang tuaku, karena aku pasti akan terhanyut dalam emosi. Akhirnya kupilih surat sebagai media komunikasi untuk menuangkan seluruh isi pikiran dan perasaanku, berharap orang tuaku mengerti dan ridha terhadap jalan hidup yang kupilih.

Sekali lagi bapak menunjukkan kebijaksanaannya yang luar biasa. Hanya perlu beberapa kalimat dariku untuk meyakinkan beliau, dan beliau pun memberi izin padaku untuk merantau ke kota Padang, Sumatera Barat, demi memenuhi panggilan dakwah. Bapak dan ibu sendiri yang mengantarku hingga kami menginjak bumi Minangkabau untuk pertama kalinya. Beliau berdua merasa cukup tenang setelah memastikan aku akan tinggal dengan orang-orang yang baik, dan berada dalam lingkungan yang baik. Aku hanya meminta pada Allah swt, agar semua pahala yang kudapat di jalan dakwah ini, juga mengalir pada kedua orang tuaku karena keridhaan mereka.

Tahun 2007

Menginjak enam bulan kehadiranku di kota Padang, datanglah seorang pemuda melamarku. Pemuda asing yang tak pernah kukenal sebelumnya. Lebih mengherankan lagi, ternyata dia pun belum pernah melihatku. Sungguh ajaib! Bagaimana mungkin ada seorang pemuda melamar gadis yang belum pernah dilihatnya? Hanya berbekal informasi yang diperoleh dari orang yang bisa dipercaya, dia melamarku. Ya… Jalan dakwah inilah yang mempertemukan kami. Kesamaan pemikiran, perasaan, dan visi misi hidup yang membuat kami bisa menerima satu sama lain. Bukan fisik, bukan nasab, bukan pula harta.

Aku tak menunggu lama untuk menyampaikan pinangan itu pada bapakku. Bapaklah orang yang kupilih untuk menyampaikan kabar besar ini, karena beliau adalah waliku, dan beliau selama ini selalu mendukung hal-hal positif yang kulakukan. Aku merasa lebih leluasa berbicara dengan bapak dibanding ibu, karena ibu tetaplah seorang ibu, perasaannya akan lebih mendominasi. Jika aku berhasil meyakinkan bapak, maka beliaulah yang akan berbicara pada ibu dan keluarga besar kami.

Aku merasakan kemudahan yang luar biasa dalam proses pra nikah ini. Bapak sangat percaya dengan pilihanku, bahkan beliau tak meminta pemuda tadi untuk menemuinya terlebih dahulu. Segala pembicaraan antar keluarga hanya dilakukan melalui telepon, termasuk tetek bengek persiapan pernikahan. Bapak juga tak mensyaratkan apapun bagi pemuda dan keluarganya ini. Bahkan beliaulah yang menanggung kerepotan untuk mengurus segala kelengkapan administrasi persiapan pernikahan, karena kami berdua masih berada di Padang. Bagiku, ini adalah puncak pengorbanan seorang ayah untuk anak gadisnya.

Dua pekan sebelum hari pernikahanku, barulah aku pulang ke Surabaya. Semua kelengkapan untuk akad nikah dan walimatul ursy sudah disiapkan oleh ibu dan adik-adikku. Aku benar-benar diperlakukan seperti putri raja. Aku sadar bahwa bapak ibuku telah mengorbankan harta terbesar mereka, yaitu putrinya. Bisa kulihat di wajah mereka, sebenarnya mereka merasa sangat berat menerima keputusanku ini. tapi mereka berusaha ridha dan ikhlas demi kebahagiaanku. Kelak aku pun tahu apa sebenarnya hal utama yang membuat bapak ibuku rela melepaskanku pergi, dan itu semakin membuatku bersyukur Allah telah memberikan orang tua yang begitu baik padaku.

Hari pernikahanku tiba. Jam tiga dini hari aku bangun dan menunaikan sholat tahajud. Kemudian aku sholat subuh berjamaah dengan bapak ibu di rumah. Setelah sholat dan berdoa, bapak memegang tanganku dan berkata, “Bapak akan menyerahkanmu pada lelaki pilihanmu. Bapak ridho. Sampai sini tugas bapak selesai. Selanjutnya baktimu hanya untuk suamimu. Bapak akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu.” Tak terbendung lagi air mataku dan aku terisak dalam pelukannya. Pelukan terakhir seorang bapak kepada anak gadis yang sudah dua puluh lima tahun dijaga dan dilindunginya, sebelum ijab qabul dilaksanakan.

******

Ramainya orang yang menghantarkan jenazah almarhum bapak ke peristirahatan terakhirnya, tak mampu mengusir rasa kehilangan di dalam hati ini. Aku menatap tubuh yang perlahan-lahan hilang di tengah timbunan tanah basah. Selamat jalan bapak.. Engkau telah tunaikan tugasmu sebagai anak, suami, dan ayah dengan sangat baik. Keridhoanmu menjadi bekal terbaik dalam hidupku. Kelak aku akan bersaksi di hadapan Allah swt tentang kebaikan-kebaikanmu. Semoga Allah swt mengumpulkan kita kembali kelak di surga-Nya.

PROFIL PENULIS

Nama Asli : dr. Hj. Herlina
Nama Pena : Lathifah Rahma
TTL : Surabaya, 2 Juni 1981
Domisili : Pekanbaru, Riau
Nama Suami : Sohandi, S.HI, MA.
Anak : 7 orang putri (Naqiya Shaliha 11 tahun, Sabila Rosyda 10 tahun, Khonsa Azizah 8 tahun, Shofia Mumtaza 6 tahun, Asma’ Syifa 4 tahun, Hafizah Silmi 2 tahun)
Motto hidup : Berikan yang terbaik untuk dakwah Islam

LEAVE A REPLY