Benarkah Budaya Tuli, Dapat Dipersepsikan “Mbudek” ?

0
1899

By. Dwi Kirana LS,. Pemerhati PEKaMas (Pendidikan Ekonomi Kesehatan atas Masyarakat) Jember

Orang dengar dan orang Tuli, dalam memahami perlu makna dari masing masing keadaannya.

Perspektif bahasa dari makna di dalam penulisan suatu kata tuli, yang ditulis dengan huruf t kecil dan huruf T kaptal bukan sebagai huruf pada kalimat yang kata tersebut terletak di depan.

Pertama, yang dilihat dari sudut pandang medis, tuli adalah kata yang memiliki masalah pada pendengaran sehingga advis pengobatan dokter THT, perlu ditambahkan pada telinga orang tuli  alat bantu dengar dan implant.

Keadaan orang tuli diharuskan belajar untuk menjadi seperti orang yang ‘mendengar’ (bisa bicara, baca dan mendengar percakapnnya).

Keberadaan bahasa isyarat bisa jadi  dapat merusak kemampuan verba berbicaranya.

Keadaan umum orang dengan keterbatasan pada pendengaran, intelektualnya menjadi rendah.

Kedua, kata Tuli yang ditulis dengan huruf T besar (kapital) merupakan situasi pada kelompok budaya minoritas yang menggunakan bahasa isyarat, merasa bangga dan positif dengan kondisinya.

Orang Tuli, keadaan umumnya baik-baik saja pada organ sistem pendengarannya (meski semisal ada yang tidak sanggup bicara secara oral), mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Ada banyak Tuli yang mahir menggunakan isyarat maupun oral secara bersamaan, sehingga berbahasa isyarat bukanlah terkatagori berkemampuan dalam berbicara atau berbahasa.

Tidak ada perbedaan intelektual Tuli dari orang yang bisa mendengar, selama informasi bisa diakses dengan cara yang menyesuaikan dengan kemampuan komunikasi mereka.

Sebut saja Mawar bukan nama sesungguhnya, terlahir tuli. Mawar mulai memahami dirinya tuli saat dirinya tidak memakai alat bantu dengar. Interaksinya ditengah keluarga saat berkomunikasi berkecendrungan menggunakan bahasa isyarat (fingertalk) sehingga terkesan dirinya “mbudek” (tidak menghiraukan) saat dipanggil anggota keluarga yang lain.

Seolah bahasa isyarat pilihan tepat untuk menggantikan bahasa verbal dalam berkomunikasi diantara anggota keluarga yang lain meski mereka tidak tuli.

Kebiasaan memakai bahasa non verbal (fingertalk) dalam cakupan keluarga Mawar dapat dikatakan sebagai budaya Tuli.

Fakta koordinasi antar birokrat di pemerintahan. Ditemui adanya ketidak singkronan komunikasi, sebagaimana dalam rapat menko ekuin terkait kebijakan impor beras dan Bulog sebagai tempat simpan dan distribusi pasokan, disinyalir over kapasity dalam menyimpan bahan pangan yang didapat dari hasil panen domistik, sehingga ketika dipaksakan menerima pasokan dari komuditas impor beras akan ditempatkan dimana ?

Mendag menimpali bukan urusan pemerintah. Kata dirut Bulog : “Matamu”.

Belum lagi kasus di daerah, sebut saja Jember. Aspirasi masyarakat daerah menolak adanya ekplorasi tambang emas  melalui pemda dan pemprov. Alasan penolakan penambangan di sana tidak sejalan dengan  keputusan Menteri ESDM Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang izin tambang di Blok Silo. Upaya eksploitasi akan tetap berjalan di sana sesuai diperolehnya izin penambangan emas di Blok Silo. Hal yang demikian ditenggarai Tuli atas keluarnya izin ekploitasi dan ekplorasi yang besar kemungkin akan berpotensi merusak lingkungan dan menuai bencana dengan hilangnya lahan dan kelestarian alam.

Solusi Islam dengan hadirnya kholifah yang memberikan pelayanan terhadap harta milik ummat berupa bahan tambang, yang pada pengelolaannya berpijak pada alam dari keterjagaan dan pelestarian ekosistem serta hasil penambangannya semua dikembalikan untuk kemashalatan ummat.

Tengok bagaimana kholifah umar ra dengan seksama mendengarkan nasehat dari rakyat dikarenakan dirinya mendapatkan amanat menjadi amirul mukminin, dirinya siap menerima peringatan baik dengan pedang terhunus ataupun hanya perkataan tajam dari seorang perempuan mukminat.

Dihari tanggal 28 September,  mewakili helpsharia mari kita bersyukur dan bersabarlah wahai penyandang disabilitas tuli.

 

LEAVE A REPLY