Konsep Pelayanan Kesehatan Rahmatan Lil ‘Alamin

1
1817

Oleh: dr. Muhammad Amin, M.Ked.Klin., Sp.MK
(Ketua Kajian Strategis HELP-S)

Sistem JKN kembali menjadi sorotan! Beberapa hari yang lalu, Ibu Sri Mulyani melontarkan bahwa dengan defisitnya BPJS hingga Rp.9 trilyun, maka perlu dikaji lebin jauh: apakah akan ada tambal menambal lagi, ataukah perlu menaikkan iuran BPJS.

Ini tentu bukan kali pertama BPJS disorot. Banyak pihak mengeluh: mulai dari pembayaran premi tidak lancar, besaran premi dirasakan kurang, rakyat hanya membayar jika sedang sakit dan setelah sembuh tidak mau membayar lagi, lupa membayar premi, keluhan teman sejawat dalam hal pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk kecepatan penegakan diagnosis di IRD yang sering kali tidak bisa dikerjakan, atau jatah biaya sudah habis sementara pasien belum sembuh dan masih membutuhkan biaya pemeriksaan dan terapi, hingga keluhan pihak rumah sakit tentang tunggakan BPJS, serta tunggakan pemerintah ke BPJS..

Dalam bahasa kejiwaan, saking banyaknya masalah yang menghinggapi, hingga BPJS saat ini mungkin tidak lagi punya daya tilik diri, alias tidak merasa dirinya sakit. Di berbagai media, para pembela BPJS masih mengklaim bahwa mereka tidak sakit, baik-baik saja.

Orang Sakit Tidak Bisa Disalahkan

Baiklah, kita sepakat BPJS sakit, meskipun dia berusaha menyangkal. Tugas kita sebagai dokter adalah berusaha menawarkan pengobatan yang tepat, bukan menyalahkan. Dari awal saya tidak pernah menyalahkan BPJSnya. Yang patut bertanggungjawab adalah yang menciptakan regulasi model ajaib ini.

Setting BPJS sederhananya adalah rakyat harus membeli pelayanan kesehatannya sendiri. Ini prinsip! Sejalan dengan salah satu pilar ekonomi neoliberal yang diidap oleh pejabat-pejabat negeri ini yaitu “tarik semua subsidi”, “biarkan semua diurusi oleh rakyat” “dan biarkan mekanisme pasar yang menyelesaikannya” meski dengan bahasa yang lebih ramah.

Maka kita lihat, yang terjadi di lapangan dana rakyat secara istiqamah ditarik untuk pelayanan kesehatan mereka, apakah sedang sakit ataupun tidak. Kemudian dana itu dikelola oleh kolektor -dalam hal ini BPJS- sebagiannya untuk biaya operasional pengelola dan sebagainnya untuk pelayanan kesehatan rakyat. Inilah prinsip: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Lho, jadi dimana peran negara?

Tugas negara
Dalam pandangan syariah Islam pelayanan kesehatan rakyat adalah kewajiban negara. Hubungan antara negara dengan rakyat dalam bidang ini adalah pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Negara bukanlah pihak yang menjual pelayanan kepada rakyat. Negara juga bukan semacam makelar yang mencarikan pihak yang menjual layanan kesehatan buat rakyat, di mana rakyat akan membeli pelayanan kesehatannya. Negara juga bukan pihak yang memberi hukuman kepada rakyatnya gara-gara rakyatnya nunggak bayaran. Intinya negara memberi pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya secara cuma-cuma.

Membutuhkan dana besar

“Idealnya memang begitu. Semua pengen kesehatan itu gratis,” ungkap seorang sejawat, “Tapi kita paham, bahwa kesehatan perlu dana yang sangat besar. akan sangat membebani APBN.. makanya kita mesti realistis… BPJS ini adalah sebuah sistem komprominya”

“Betul, kebutuhan dana mungkin akan sangat besar” tanggap saya

“Namun, perlu dicatat, jika sejak awal pelayanan kesehatan diposisikan sebagai kewajiban negara maka tidak akan ada anggapan hal itu sebagai beban APBN, sebesar apapun biayanya. Sebagai contoh, negara tidak pernah mengeluh soal besarnya biaya pembayaran utang dan bunga pinjaman luar negeri. Padahal ini jauh lebih besar daripada biaya ngurusi kesehatan rakyatnya.”

“Nah, makanya masalah utamanya adalah paradigma negara memandang kesehatan: apakah ini sebagai beban, atau tanggung jawab. Ketika ini dianggap beban, maka layaknya orang yang sedang dapat beban, akan sedapat mungkin berusaha mengurangi bebannya, melimpahkan ke orang lain atau membuangnya saja.”

“Sehingga sistem kesehatan yang berlandaskan syariah mesti ditopang oleh pelaksanaan ekonomi syariah. Dalam ekonomi syariah, sumber APBN cukup melimpah. Kekayaan alam berupa air, hutan, mineral-batubara, dan migas adalah milik rakyat secara kolektif. Negara berkewajiban mengelolanya untuk rakyat. Negara tidak berhak memberikan hak kelolanya kepada swasta baik lokal maupun asing. Pemasukan dari sektor ini bisa berpotensi lebih dari cukup untuk menopang pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis buat semua.”

###
Izinkan saya menyelipkan perhitungan salah seorang ahli di tulisan ini,
Belanja kesehatan rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 2013 Rp.136.000 perorang perbulan (POPB), Sementara itu belanja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp.35.000 POPB (Thabrany, 2017). Anggaran kesehatan di APBN 2017 sebesar Rp.104 T (Kemenkeu RI, 2017). Menurut Mendagri, jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 sebesar 257,9 juta jiwa (http://jateng.tribunnews.com/2016).

Hingga akhir Maret 2017 jumlah iuran yang dibayar rakyat melalui Payment Point Online Banking (PPOB) mencapaiRp 3,190 T perbulan (http://bpjs-kesehatan.go.id/, 2017).

Dari angka-angka di atas dapat diperkirakan kebutuhan dana kesehatan seluruh rakyat Indonesia sekitar Rp.420,9 T pertahun. Sementara itu dana yang tersedia dari APBN dan penerimaan iuran BPJS Rp.142,28 T. Cukup besar defisitnya.

Berapa besar potensi pendapatan yang diberikan oleh syariah Islam?

Dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam pada tahun 2010 Rp 691 Triliun. Potensi pendapatan dari hutan, Rp 1000 Triliun pertahun (Amhar, 2010).

Insyaallah cukup, malah lebih. Menurut data tahun 2016 ada 58 juta jiwa penduduk yang tak ikut dalam program, karena pada tahun itu baru ada 171.939.254 (68,8%) penduduk yang ikut program (http://finansial.bisnis.com). Bagaimana nasib pelayanan kesehatan mereka? Insyaallah dengan konsep pembiayaan ala syariah Islam semua penduduk yang kaya ataupun miskin, muslim maupun non muslim akan dapat terlayani kesehatannya secara cuma-cuma dan bermutu.

Tak perlu lagi wacana menaikkan premi asuransi. Tak ada lagi rasio tagihan macet sebesar 35% (http://bisniskeuangan.kompas.com), tak ada lagi ancaman sanksi bagi rakyat yang tak ikut program atau nunggak.

Bukan dengan cara Mencangkok

Teman sejawat tadi tercenung.
“Tapi apa bisa konsep itu dicangkokkan di sini?” tanyanya gamang.

“Nah, itu dia pertanyaan prinsipnya!” tegas saya sembari menyemburatkan senyum lebar.
Kalau dengan cara mencangkok, tak akan bisa.
Pohon besar itu bernama Diin/ agama Islam. Akarnya adalah aqidah. Syariah adalah bagian yang tumbuh di atasnya. Batang kuat yang menopangnya adalah khilafah. Kesehatan syariah adalah ranting. Muamalah adalah cabang besarnya. Rahmat, barakah dan kesejahteraan adalah daun, bunga dan buahnya. Nah, kalau hanya mencangkok rantingnya ‘gen’ nya tidak akan sesuai!
###

Allah berfirman dalam QS AlBaqarah:30, yang artinya sebagai berikut:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumiitu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

Ibn Katsir mengutip dari Ibn Jarir, “sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah dari-Ku yang berkedudukan menggantikan-Ku dalam memutuskan hukum secara adil di kalangan makhluk-Ku”.

Jadi yang dimaksud Allah dengan penciptaan khalifah adalah seorang yang akan memutuskan hukum dengan adil, tentu termasuk keadilan pelayanan kesehatan di dalamnya.

Al-Qurtubi menyebutkan dalam kitab tafsirnya bahwa ayat 30 Surat Albaqarah adalah dalil yang pokok tentang wajibnya mengangkat seorang imam dan khaifah yang didengar dan ditaati. Secara eksplisit Rasulullah menyebutkan khalifah sebagai pihak yang mengurusi urusan ummat setelah beliau tiada, karena tak ada nabi setelah beliau SAW.
###
“Nah lho… kok jadi loncat dari JKN malah ngomong Khilafah?” protes sang teman sejawat.

“Lho, justru masih nyambung. Kan sudah saya bilang. Diinul Islam itu pohon besar yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Terwujudnya kesejahteraan, rahmat dan barakah berupa kesehatan yang berkualitas itu adalah daun, bunga dan buah yang hanya akan tumbuh dari pohon yang bernama Diinul Islam. Kalau kita mau daun, bunga dan buahnya, tapi enggan dengan batangnya dan akarnya.. itu namanya konyol”

“Sama, ketika kini sebagian orang ingin kesejahteraan tapi alergi dengan syariah, dan menolak khilafah, saya bilang itu SUPER KONYOL”

1 COMMENT

  1. Konsep pelayanan kesehatan ala rasulullah Saw sy fikir merupakan identitas kita.
    Dan saat ini negara kita sangat memerlukan konsep syari yg merupakan rohmatan Lil alamin

LEAVE A REPLY