Oleh: dr Nurul Muzayyanah (Anggota Help-Sharia)

Pemberitaan media tentang profesionalitas dan kinerja tenaga medis banyak mengemuka. Ditinjau dari berbagai sudut pandang, hal ini berakibat pada terganggunya kualitas hubungan antara pemberi layanan kesehatan dan penerimanya. Kondisi ini adakalanya disebabkan kelalaian pemberi layanan, atau ketidakpahaman penerima layanan terkait prosedur dan tindakan medis yang dilakukan. Apresiasi pemerintah menyikapi  fenomena ini sering menyulitkan kedua belah pihak. Alih-alih menyelesaikan masalah, namun justru menambah keretakan interaksi keduanya.

Pelayanan kesehatan versi kapitalisme

Pola interaksi dalam masyarakat tidak terlepas dari nilai kehidupan yang diterapkan. Saat ini penerapan idologi kapitalisme dan sekulerisme telah membentuk warna kehidupan yang berbeda dengan peradaban Islam. Idiologi kapitalisme berlandas prinsip menghilangkan peran agama dalam mengatur kehidupan dan teraihnya manfaat materi dalam segala urusan kehidupan. Fungsi negara dalam kapitalisme adalah sebagai regulator-bukan pengatur langsung  yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk  layanan kesehatan.

Di Amerika, hubungan dokter-pasien (physican-patient relationship) dan profesi kesehatan lain hakekatnya merupakan hubungan kontraktual. Hubungan ini melibatkan penawaran (the request for treatment) dan persetujuan (the agreement to render the treatment) yang dapat terjadi melalui express contract ataupun implied contract. Dalam express contract hal-hal mengenahi jangka waktu, hak, dan kewajiban disetujui dan dinyatakan secara jelas baik tertulis atau lisan. Seperti jenis tindakan, uang muka serta jumlah biaya yang harus di bayar pasien atau penanggungnya (pihak ketiga). Dalam implied contract, detail isi kontrak telah dipahami dan disetujui secara diam-diam. Seperti bilamana dokter melakukan tindakan medis lebih dahulu sebelum diperbincangkan dan dicapai kata sepakat mengenahi jumlah biaya yang harus dibayar pasien atau penanggungnya. Dari sini hubungan terapetik antara dokter atau rumah sakit (health care provider) dan pasien (health care receiver) terbentuk. Dokter atau rumah sakit wajib menunjukkan prestasi  yaitu memberikan upaya medik yang layak dan benar berdasar teori kedokteran yang teruji kebenarannya (evidence based medicine). Bentuk perikatan ini bersifat inspannings verbintennis bukan resultaats verbintennis, artinya penyedia layanan kesehatan tidak dituntut memberikan kesembuhan karena kesembuhan merupakan resultante dari berbagai macam faktor baik yang di bawah kontrol atau di luar kontrol penyedia layanan. Pasien atau penanggungnya sebagai kontraprestasi kewajibannya dapat berupa penyerahan uang atau apa saja yang bersifat materi berjumlah layak atau sesuai kesepakatan.

Dalam islam, perbuatan manusia memiliki tujuan dan nilai (qimah) tertentu. Perbuatan umat islam bertujuan mencari ridho Allah, sedangkan nilai (qimah) yang diraih adalah nilai materi (madiyah), kemanusiaan (insaniyah), akhlak (khuluqiyah), dan ruh (ruhiyah). Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan seluruh perbuatan termasuk pelayanan kesehatan bertujuan mendapat keuntungan dan mendapatkan nilai (qimah) materi (madiyah). Kapitalisme yang ditanamkan negara menjadikan baik pemberi atau penerima layanan kesehatan sulit  meraih nilai (qimah) secara proposional. Karenanya meskipun perikatan keduanya juga menekankan adanya i’tikad baik,  kepatutan, dan kebiasaan yang dibangun atas dasar kepercayaan namun penerapannya sulit direalisasikan.

Pelayanan kesehatan versi sistem Islam

Subyek yang paling bertanggung jawab sebagai  pelaksana layanan kesehatan (provider care) adalah dokter beserta tiemnya (baca artikel sebelumnya: kebijakan khilafah di bidang kesehatan, 20 Januari 2017).  Setiap umat Islam dengan berbagai profesi menjalankan misi hidup yang sama. Manusia adalah bagian dari makhluk hidup yang menjadi Abdullah (hamba Allah)  dan  Khalifatullah. Dua peran ini akan mengarahkan pola hidup yang bernilai beribadah. Sebagai abdullah ia akan menjaga keimanan dan ketaatannya  pada syariat Allah. Sebagai khalifatullah ia akan terlibat  memakmurkan bumi berbekal syariat Allah dan  sains teknologi. Artinya, tujuan pelayanan medis tidak sebatas pada keberhasilannya menghilangkan sakit dan penyakit, namun juga membawa misi hidup meningkatkan ketundukan kepada Allah. Penguasaan saintek dan penerapan syariat Islam akan mewujudkan rahmatan lil alamiin.

Allah berfirman dalam surat Al Mulk: 2,

Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.

Imam Fudlail bin ‘Iyadadl mengungkapkan, “Ahsan amalan adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar. Perbuatan tidak akan diterima hingga dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas adalah jika perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Sedang benar (showab) adalah jika perbuatan tersebut berjalan di atas sunah”. (Imam al-Baghawiy, tafsir al-Baghawiy, juz 8/176).

Rasulullah menjadi satu-satunya inspirator. Karena itu,  meneladani perbuatan Rasulullah (Ta’assiy fi fi’il al-Rasul) menjadi hal penting  yang tidak boleh di abaikan.

Perilaku  umum yang menjadi tradisi dalam peradaban Islam juga berlaku dalam pelayanan kesehatan.  Dokter bekerja dengan selalu menjaga privasi pasien. Pemeriksaan dilakukan sebatas yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa dan evaluasi hasil terapi. Rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan lanjutan akan menjunjung tinggi nilai syariat Islam dan etika profesi. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan suasana  kondusif dan proses pelayanan maksimal bagi pelaku atau penerima layanan.

Para ilmuan muslim sangat berhati-hati menerapkan ta’assiy ini.  Kajian keilmuannya tidak  keluar dari  aqidah Islam dan keterikatan terhadapa syariat-Nya. Output  insan yang dihasilkan memadukan kecermelangan pola fikir dan kedalaman pola  sikapnya.  Mereka sangat menghormati  pasien sebagai insan yang mengalami penderitaan dan kesusahan yang perlu pertolongan. Setiap orang sakit berhak mendapat kesembuhan tanpa memandang kedudukan. Syariat Islam menjunjung tinggi etika mulia ini. Seorang dokter dan tiemnya  bertanggung jawab mendampingi di saat kritis pasien untuk memantau perkembangan terapi, menjadi penyemangat, menenangkan ketakutan, penderitaan tubuh, dan batinnya. Kejelian inderanya menegakkan diagnosa dan ketepatannya  memberi alternatif pengobatan tidak diragukan. Inilah pembeda health care provider berdasar syariat Islam dan konsep kapitalisme.

Tercatat dalam sejarah, tingginya perhatian Islam terhadap penderitaan orang  sakit. Diantaranya diabadikan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya membuat bab khusus tentang menjenguk orang musyrik (Iyadah al-musyrik). Rasulullah mencontohkan perhatiannya terhadap orang sakit meski bukan umat Islam.  Beliau pernah menjenguk pemuda yahudi yang sakit.  Kepribadian mulia ini diikuti para ilmuwan besar Islam. Karya besar yang dihasilkan merupakan akumulasi tempaan pendidikan berkualitas berbasis aqidah Islam. Kekuatan ruh menjadi nafas hidupnya. Tersebut diantaranya al-Zahrawi (Abu Al-Qasim Al-Zahrawi/Al-Bucasis,  936-1013 M). Beliau seorang dokter muslim yang taat dan sederhana. Sebagian orang menyebut bagaikan seorang sufi. Banyak pengobatan dilakukan secara cuma-Cuma, karena dianggap amal dan sedekah. Penemuan terkenal adalah tehnik gips dalam penyembuhan patah tulang.  Digambarkan bagaimana keseriusannya melakukan teknik gips dibantu asistennya.  Ia memantau perkembangan pengobatan dan tindakan yang dilakukan sampai beberapa hari.

Khilafah Islamiyah akan menghadirkan kembali

Islam adalah sistem kehidupan yang shahih.  Khalifah sebagai pemimpin tunggal daulah  khilafah Islamiyah bertanggung jawab merealisasikan kesehatan individu dan masyarakat secara gratis.  Diantaranya, ia akan mewujudkan ketersediaan tenaga medis profesional dan berakhlak mulia. Kader-kader tenaga medis  terbaik dan terdidik disiapkan dalam sekolah kedokteran berkualitas. Tenaga medis juga didorong menata kembali keimanan dan tujuan hidupnya untuk mencari keridhoan Allah semata.

Khalifah menyadari dokter dan tiemnya sebagai pilar penting penopang tertunaikannya tanggung jawab negara untuk mewujudkan kesehatan warga negara.  Karenanya, khalifah akan menjamin dokter mampu menjalankan tugas profesi dengan optimal tanpa tekanan. Khalifah akan menjunjung tinggi kemuliaan tugas tenaga kesehatan, menjaga kepercayaan umat, sekaligus memperhatikan kesejahteraanya karena waktu yang dicurahkan untuk melayani warga negara.

Sepanjang sejarah kegemilangan Islam, pendapatan ilmuwan paling besar diperoleh mereka yang memiliki keahlian di bidang adab juga profesi seorang dokter.  Khalifah Al-Ma’mun pernah membayar dokter Ibn Hunayn bin Ishaq yang berjasa menterjemahkan sebuah karya dari bahasa Yunani ke Bahasa Arab. Ia menggantinya dengan emas seberat buku tersebut. Adapula Muhadzdzab Al-Din Ibn al-Naqqasy, dokter dari Baghdad di abad ke 11. Ia bekerja di Mesir digaji sebesar 15 dinar per bulan selain mendapat fasilitas berupa apartemen, pakaian bagus, dan keledai terbaik. Demikian juga para dokter perempuan di era kekhilafahan Turki Usmani. Disampaikan Nil Sari, guru besar Fakultas Kedokteran Cerrahpasha, Universitas Istambul Turki, dokter masa Usmani menguasai berbagai spesialisasi dan menempati posisi amat tinggi. Dokter perempuan bernama Tabibe Gulbeyaz Hatun bergaji 200 akces per bulan. Juga Ibn Tirmidzi, seorang dokter Kristen, memiliki pendapatan tahunan lebih dari 20 ribu dinar. Imbalan tidak hanya sekedar atas jabatan atau profesi, namun juga sebagai penghargaan ilmu atau profesionalitas yang dimiliki.

Jika akal dan nurani telah menerima kebenaran Islam, kenapa tidak mengulurkan tangan melibatkan diri mewujudkan hadirnya kegemilangan peradapan Islam. Tidak ada kehidupan yang lebih membahagiakan selain terbebas dari perbuatan mendzalimi dan didzalimi. Hal ini sudah pernah dan akan terwujud kembali dalam daulah khilafah Islamiyah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Insyaallah.

Referensi:

  1. As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar.
  2. An Nawiy, FSR. 2011. Revolusi Islam Jalan Terang Menuju Peradaban. Al-Azhar Press. Bogor.
  3. Natsir, Fatir. 2016. Menakar Fakta di balik Perdebatan Islam dan Etika Medik dalam Profesionalitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia. http://www.academia.edu/27790333/menakar_fakta_
  4. 2015. Kontribusi Ilmuwan Muslim di Bidang Kedokteran. http://www.kedokteran-islam.net/2015/
  5. Islam and science. http://www. Indocropcircles.com
  6. Dahlan,Sofwan. 2008. Hubungan Terapetik antara Health Care Provider dan Health Care Receiver. Hukum Kesehatan. http://humkes.wordpress.com/
  7. Billy N. 2010. Memulihkan Hubungan Pasien-Dokter. Hukum Kesehatan. http://www.humum-kesehatan.web.id/
  8. Dokter Perempuan di Era Turki Usmani. Scientitific Islam. http://scientificislam.wordpress.com/
  9. Anonym. 2016. Gaji para Cendikiawan. http://dev.republika.co.id/berita/Koran/509950/

LEAVE A REPLY