Cinta Bersemi, dari Hijab OK Syar’i

0
2892

Oleh: dr. Fauzan Muttaqien (Sekjend HELP-S)

 

Sepertinya umat Islam sudah kapok selalu terzalimi. Tidak logis, di negeri dimana mayoritas penduduknya muslim, jumlah penganut Islamnya konon yang terbanyak di dunia, Islam malah terpinggirkan. Aksi Bela Islam jilid I, II dan III menjadi sebuah pemantik bangkitnya ghiroh umat Islam. Jangan sakiti kami, selama ini kami sudah cukup kompromi. Mungkin itu jerit jejer hati umat Islam kala berkumpul untuk membela ayat Qur’annya yang dinista.

Dan bola panas pun menggelinding. Jangan berani-berani menyentil hati umat Islam yang terluka itu. Pun Metro TV bahkan sekelas Sari Roti telah terciprat akibatnya.

Entah berhubungan atau tidak, tersebutlah seorang mahasiswi A di Rumah Sakit X yang menginginkan tetap menggunakan khimar (kerudung) dan jilbab (baju terusan gamis) di kamar operasi (OK) dan kamar bersalin (VK). Inilah busana muslimah syar’i yang dipahaminya. Harus dipakai, meski di OK atau VK. Pihak RS tidak mengizinkan khusus untuk baju terusan gamisnya, mengingat RS punya kebijakan tersendiri yakni harus menggunakan celana panjang dan dimasukkan ke dalam boot mengikuti standar PPI. Kasus ini sempat menjadi viral di media sosial. Masalahnya sensitif memang, karena – sekali lagi – umat ini sedang terluka, jadi jangan berani menyentilnya.

Satu pihak ingin menegakkan aturan pencegahan dan pengendalian infeksi. Satu pihak lagi, ingin menegakkan aturan Allah yang sudah pasti, ini tentang ketaatan pada Rabbul ‘izzati. Dan itu harga mati. Mungkin begitu yang ada di nurani sang mahasiswi dan pihak yang berbaris membelanya.

Saya mencoba menyelami batin yang dirasakan sang mahasiswi. Sungguh, pasti terasa berat. Jelas akan lebih mudah bagi dirinya untuk mengikuti saja apa maunya rumah sakit. Tanggalkan gamisnya saat di OK dan ganti dengan celana panjang. Apa susahnya? urusan selesai. Dia dapat mengikuti pendidikan dengan tenang dan aman. Sementara, pilihan terjal yang dilaluinya kini. Memilih berbeda dengan  teman-temannya. Mendesain sendiri baju khusus kamar bedah yang syar’i, berhadapan dengan dosen-dosennya hingga pejabat-pejabat rumah sakit, hingga sempat terancam tidak boleh koass. Ini berarti cita-citanya menjadi dokter terancam kandas. Belum lagi bagaimana dia harus menghadapi orangtuanya.. bukankah selama ini yang membiayai dia adalah orangtua.. kini hanya gara-gara ngotot antara gamis dan celana panjang dia harus melalui liku-liku ini.

Kalau mau banding-bandingkan.. toh dia hanya menggunakannya di kamar operasi saja. Di luaran tetap jilbab dan khimar. Toh kalau mau banding-bandingkan, muslimah yang lain enjoy-enjoy saja memakai celana panjang di luaran, bahkan enjoy tanpa kerudung, memakai celana pendek hingga rok mini. Kenapa dirinya begitu ribet?

Bermil-mil saya mencoba menyelami mencari satu titik komprominya. Urung. Hingga akhirnya saya menemukan jawaban. Ini masalah ketaatan pada Allah. Perasaan yang tidak akan bisa dipahami kecuali oleh yang memiliki frekuensi yang sama. Tak akan bisa dipahami meski membuka berbagai jurnal ilmiah ribuan sekalipun. Ini energi ketaatan, yang membuat sang mahasiswi berani berjalan melawan pakem yang sudah ada, meski harus berujung pahit.

Dan energi ini juga yang mendorong pihak-pihak yang membelanya. Ya, kalau dipikir-pikir kenapa repot-repot membela seorang mahasiswi yang bahkan mereka tidak pernah mengenalnya sama sekali. Bahkan pembelaan datang dari guru besar, dari pejabat rumah sakit lain, dari Sumatera hingga Papua bahkan dari luar negeri. Seperti nggak ada kerjaan saja…

Maka akhirnya jawaban yang sama: Ini juga adalah masalah ketaatan pada Allah. Mereka sebenarnya tidak sedang membela sang mahasiswinya, atau seonggok kain gamisnya… bukan pula sedang melawan PPI atau alih-alih ingin mencemarkan nama Rumah Sakitnya, tak mungkin lah ada niat buruk itu. Semata, yang mereka bela adalah ketaatan pada Allah-nya. Maka, bagi hati-hati yang sudah beresonansi, permasalahan ketaatan meski hanya sekedar penggunaan jilbab syar’i di OK tak boleh dianggap sepele.

Terlebih, kasus sang mahasiswi ini sebenarnya mewakili banyak kasus-kasus yang serupa. Banyak mahasiswi kesehatan yang ingin taat, tapi terkendala dengan aturan kamar operasi yang sering dibuat ribet sendiri dengan alasan standar PPI dan demi kecekatan serta profesionalitas. Padahal, mengutip pendapat salah seorang anggota tim PPI pusat, aturan PPI itu fleksibel. Harusnya bisa menyesuaikan, jangan kaku. Sepatu boot merupakan alat pelindung diri. Kalau memang harus dipakai, ya pakai saja. Masukkan celana panjang ke dalam boot, kemudian di bagian luarnya silakan lapisi lagi dengan hijab/gamis sebagaimana aturan busana muslimah yang syar’i. Kalau khawatir gamisnya terkena lantai sehingga menjadi sumber penyebaran infeksi.. gampang, tinggal angkat sedikit. Beres kan?

Pun, bila kita mencoba menggali dasar-dasar akademisnya, Bernard dkk jauh-jauh hari telah mengatakan bahwa untuk mengurangi pencemaran mikroorganisme di udara akan lebih baik lagi jika selain menggunakan celana yang ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu boot juga dilapisi dengan gawn di luarnya. Nah berarti justru jilbab syar’I dengan bentukan gamis di luar celana panjang dengan boot di dalam paling bagus dong?

Jadi kini, atas alasan apa penggunaan gamis/jilbab syar’i di kamar operasi dilarang?

***

Persis di bulan ini empat tahun yang lalu. Saat itu saya sedang galau. Tahun 2012 sudah lewat. Sementara jodoh tak kunjung datang. Di proposal mimpi yang saya sebar kemana-mana tertuliskan saya akan menikah tahun 2012, jodoh saya adalah seorang wanita muslimah berprofesi guru bla bla bla… Sejak tahun 2011 saya sudah melakukan ‘petualangan’ ta’aruf. Berbagai jurus sudah dikerahkan untuk mendapatkan kriteria yang diinginkan. Namun berkali-kali ta’aruf ujungnya sama. Kandas! Ini sudah 2013, coy!

Hingga saya berpikir ulang, kenapa harus guru? Bagaimana kalau kriterianya saya ubah jadi dokter? Kan lebih mudah… satu profesi dengan saya.

Tapi pelik terpikir, adakah yang sesuai dengan yang saya inginkan? Yang saya harapkan sebenarnya sederhana. seorang muslimah yang mentaati aturan Allah dan Rasul-Nya. Dan saya khawatir saat itu, di kalangan dokter tidak ada.

“Lho, kenapa tidak ada?” mungkin ada yang bertanya. Karena pikiran saya saat itu, pergaulan mahasiswa mahasiswi kedokteran banyak yang bermasalah. Selain itu seorang dokter muslimah pasti pernah melewati stase di kamar operasi. Di stase itu bukankah dia wajib menggunakan pakaian operasi dengan celana panjang, dan ini berarti tidak sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Aturan busana muslimah kan khimar dan jilbab (baju terusan/gamis) Ah, nggak usah dokter ah… saya mencoba mengeksklusi pilihan itu dari kemungkinan jodoh saya.

“Kata siapa nggak ada?” sergah salah seorang teman.

“Ada kok. Dia seorang akhwat yang hebat. Saya sempat ketemu beberapa kali dengan dia di kamar operasi waktu stase. Dia tetap memakai khimar dan jilbab” lanjutnya.

“Lho kok bisa?” tanya saya tidak percaya.

“Dia mendesain sendiri baju OK-nya. Kalau dari jauh sekilas tampak seperti baju OK biasa. Baju kemudian di bawahnya celana. Tapi sebenarnya itu adalah baju gamis terusan, hanya didesain tampak seperti baju potongan dan celana. Pinter dia… dan dia aman-aman saja selama di OK” jelasnya.

Deg, jantung saya saat itu berdegup kencang. Lho kok Allah mentakdirkan ada yang seperti itu… jangan-jangan dia jodoh saya, desis hati saya.

Logika saya sederhana saat itu. Saya memang belum mengenal dia, belum juga melihat wajahnya apalagi karakternya atau keluarga dan tetek bengek yang lain. Tapi satu kunci yang telah membuka hati saya, ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Ketika dia berusaha tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya di tempat yang sulit untuk taat seperti di OK, maka insya Allah dia akan taat pada aturan Allah di manapun dan kapanpun juga. Dan kalau dia sudah taat pada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan taat juga pada orangtua, pada suami dan pada mertua… dan insya Allah keluarga yang dibentuk akan jadi bahagia, dan terus sampai ke surga…

Oke… bismillah… kenapa tidak mencoba proses ta’aruf dengan dia…?

***

 

Ending….

Entah, apakah saat itulah kali pertama muncul getar cinta?

Cinta bermula karena jilbab syar’i di OK?

Wallahu ‘alam

Yang jelas kami berdua saat ini sedang menunggu hari-hari menjelang kelahiran anak kedua… 🙂

tertitip doa kepada pembaca semoga sang janin sehat dan kelak menjadi muslim yang taat pada Allah dan Rasul-Nya

LEAVE A REPLY