Kemandirian Spiritual dan Pengobatan Terhadap ODHA

0
2156

Oleh: Aulia Yahya, S.Si, Apt (Anggota HELP-S)

“AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan penuh untuk mengatasi masalah fisik, psikis, dan sosial. Kemandirian spiritual pasien kata kuncinya”

Tak satupun diantara manusia yang menginginkan hidup berpenyakitan, terlebih lagi jika penyakit yang dideritanya adalah jenis penyakit yang dapat mematikan. Apatah lagi bila keadaan sakit tersebut dibarengi dengan stigma negatif baik tehadap penyakit maupun pada penderitanya. Bagi penderita HIV / AIDS , sering disebut sebagai “Odha” (Orang Dengan HIV/AIDS), tentu akan mengalami gangguan fisik yang berat, selanjutnya dapat menimbulkan beban psikis dan sosial. Adanya stigma negatif masyarakat juga akan memperberat beban psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan HIV / AIDS, selain penanganan aspek fisik maka aspek psikososial perlu diperhatikan dengan seksama

Untuk megurangi beban psikososial Odha maka pemahaman yang benar mengenai HIV / AIDS perlu disosialisasikan secara terus menerus. Konsep bahwa dalam era obat antiretroviral HIV / AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan juga perlu dimasyarakatkan. Konsep tersebut memberi harapan kepada masyarakat dan Odha bahwa Odha tetap dapat menikmati kualitas hidup yang baik dan berfungsi di masyarakat.
Untuk mengurangi beban psikis orang yang terinfeksi HIV maka dilakukan konseling sebelum tes. Tes HIV dilakukan secara sukarela setelah mendapat konseling. Pada konseling HIV dibahas mengenai risiko penularan HIV, cara tes, interpertasi tes, perjalanan penyakit HIV serta dukungan yang dapat diperoleh Odha. Penyampaian hasil tes baik hasil negatif maupun positif disampaikan dalam sesi konseling. Dengan demikian orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan untuk menerima hasil apakah hasil tersebut positif atau negatif. Konseling pasca tes baik ada hasil positif maupun negatif tetap penting. Pada hasil positif konseling dapat digunakan sebagai sesi untuk menerima ungkapan perasaan orang yang baru menerima hasil, rencana yang akan dilakukannya serta dukungan yang dapat diperolehnya. Sebaliknya penyampaian hasil negatif tetap dilakukan dalam sesi konseling agar perilaku beresiko dapat dihindari sehingga hasil negatif dapat dipertahankan.

Apabila seseorang sudah dinyatakan HIV positif tentu bukanlah suatu keadaan yang mudah untuk diterima. Seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan muncul perasaan lainnya. Kondisi psikis pasien inilah yang akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidak pastian menuju pada adaptasi terhadap penyakit.

Dalam kondisi inilah, hadirnya kesadaran spiritual pada diri pasien menjadi kunci utama. Ikhlas dan sabar, tentu sangat sulit dilakukan, apabila tidak mampu menyadari, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, pada hakikatnya hanyalah ujian dan ketentuan dari Sang Pencipta. Patut diingat, bahwa tidak semua Odha diawali dengan perilaku hidup yang menyimpang, ada yang tertular secara tidak sengaja.

Apapun itu, sakit adalah penggugur dosa, juga sebagai sarana untuk instrospeksi dan bertaubat, terutama bagi mereka yang sedari awal telah mengundang penyakit tersebut hadir dibadannya, melakukan aktifitas yang menjadi faktor resiko terpapar HIV /AIDS.

Disisi lain, secara sosial, pasien membutuhkan dukungan emosional, sehingga pasien merasa nyaman, tetap dihargai, dicintai dan diperhatikan. Para pasien selayaknya mendapat dukungan informasi, ini penting untuk meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya. Sarana serta dukungan material pun juga menjadi kebutuhan, seperti hadirnya bantuan fasilitas dan kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.

Pengobatan HIV / AIDS

Penting bagi seseorang yang pertama kali merasa atau mencurigai baru saja terkena virus dalam rentan waktu 3×24 jam, untuk memeriksakan dirinya. Pemberian obat anti HIV bisa mencegah terjadinya infeksi. Obat ini bernama post-exposure prophylaxis (PEP) atau di Indonesia dikenal sebagai profilaksis pasca pajanan. Profilaksis adalah prosedur kesehatan yang bertujuan mencegah daripada mengobati.

Pengobatan ini harus dimulai maksimal tiga hari setelah terjadi pajanan (terpapar) terhadap virus. Idealnya, obat ini bisa diminum langsung setelah pajanan terjadi. Pada prinsipnya, semakin cepat pengobatan, maka akan lebih baik untuk proses selanjutnya.

Pengobatan memakai PEP akan berlangsung selama sebulan. Efek samping obat ini serius dan tidak ada jaminan bahwa pengobatan ini akan berhasil. PEP melibatkan obat-obatan yang sama seperti pada orang yang sudah dites positif HIV. Obat jenis ini bisa didapatkan setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) ataupun di rumah sakit.

Pasca pemeriksaan, Jika hasil tes positif atau reaktif berarti pasien terinfeksi HIV. Hasil tes ini biasanya disampaikan oleh penyuluh (konselor) atau pun dokter. Mereka akan memberi tahu dampaknya pada kehidupan sehari-hari dan bagaimana menghadapi situasi yang terjadi saat itu.

Proses pengobatan selanjutnya adalah peberiam obat obatan Antiretroviral (ARV), mencakup beberapa obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV. Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus. HIV bisa mudah beradaptasi dan kebal terhadap satu golongan ARV. Oleh karena itu, kombinasi golongan ARV akan diberikan pada penderita. Beberapa golongan ARV adalah: 1) NNRTI (Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors). Jenis ARV ini akan bekerja dengan menghilangkan protein yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri. 2) NRTI (Nucleoside reverse transcriptase inhibitors). Golongan ARV ini menghambat perkembangan HIV di dalam sel tubuh. 3) Protease inhibitors. ARV jenis ini akan menghilangkan protease, jenis protein yang juga dibutuhkan HIV untuk memperbanyak diri. 4) Entry inhibitors. ARV jenis ini akan menghalangi HIV untuk memasuki sel-sel CD4. 5) Integrase inhibitors. Jenis ARV ini akan menghilangkan integrase, protein yang digunakan HIV untuk memasukkan materi genetik ke dalam sel-sel CD4.

Pengobatan kombinasi model ini lebih dikenal dengan nama terapi antiretroviral (ART). Lazimnya pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat ARV yang diberikan berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini bersifat pribadi atau khusus.
Pada perkembanganya, beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu pil. Begitu pengobatan HIV dimulai, secara kemungkinan, obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup. Jika dalam evaluasi dan monintoring satu kombinasi ARV dianggap tidak berhasil, pemberian ke kombinasi ARV lainnya menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.

Semua pengobatan untuk HIV memiliki efek samping yang tidak menyenangkan. Kelelahan, mual, ruam pada kulit, diare, satu bagian tubuh menggemuk, bagian lain kurus, dan perubahan suasana hati, adalah gejala efek samping yang umum dirasakan.

Perlu diingat, penggabungan beberapa tipe pengobatan untuk mengatasi infeksi HIV bisa menimbulkan reaksi dan efek samping yang tidak terduga. Selalu konsultasikan kepada dokter dan apoteker sebelum mengonsumsi obat. Pengobatan HIV bisa berhasil jika obat dikonsumsi secara teratur, pada waktu yang sama setiap kali minum obat. Agar lebih memudahkan, pasien ataupun keluarga pasien dapat membuat jadwal rutin waktu pengobatan HIV ke dalam jadwal hidup sehari-hari. Sebab, jika melewatkan satu dosis saja, efeknya bisa meningkatkan risiko kegagalan.

LEAVE A REPLY